Selasa, 04 Oktober 2016

"Jangan Sedih, Aku Aja Bahagia"

Waktu itu aku lagi bacain tweet salah satu journalist dan blogger kesukaanku, kemudian yang ku dapati setelah ngepoin twitternya (dan postingan instagramnya) adalah dia sudah putus dengan mantan pacarnya, dan yang lebih cool dia ternyata sudah punya pacar baru lagi. What a move! Pertamanya aku (sebagai seorang followers) merasa rada sedikit sedih dan tidak rela karena mantan pacarnya ganteng banget, dan pun mereka berdua terlihat super serasi serta menyenangkan untuk dilihat. Tapi mereka berdua emang beda keyakinan sih, mungkin juga putusnya karena itu atau hal lain idc. Ganteng aja ngga cukup, dude. Terus aku baca salah satu tweet yang dia tulis sebagai tweet balasan ke temannya, intinya temannya merasa sedih karena dia putus, lalu dibalas dengan singkat "Yah jangan sedih dong, gue aja lagi bahagia." It somehow warms my heart. In her case, dia mungkin merasa bahagia karena pacarnya baru dan sudah bisa move on dengan selamat. And in my case... No clue. I am just simply happy by being a single.

Aku pun habis putus dan bingung karena tidak merasakan sedih seperti patah hati-patah hati sebelumnya. Bahkan sekarang sangat bahagia karena entahlah, hidupku jadi lebih menyenangkan dan hal-hal baik datang setelahnya. Jujur, ini bukan kalimat yang dibuat-buat supaya aku tidak terlihat menyedihkan dan depresi. Aku memang tidak pintar mengungkapkan perasaan saat menulis poem romantis atau memasang foto yang mengandung kebahagiaan (mungkin-mungkin yang dilihat orang hanya sebatas path atau instagram aja) untuk konsumsi publik. Karena mostly orang tau apa yang kita lakukan dari media sosial, kayak "Eh dia kan udah putus coba cek deh twitternya." Karena memang juga aku agak insecure dan sedikit hati-hati dalam menggunakan  media sosial. Mungkin aku sebenarnya lebih takut dengan judgements, dan respon orang-orang. Kalo kata Khalil Ghibran "Travel and tell no one, live a true love story and tell no one, live happily and tell no one, people ruin beautiful things." Indeed people ruin beautiful things, or at least ya I would only show what I want to show.

Ini pun ku tulis karena semalam teman-temanku merasa sangat bersalah saat aku pulang paling terakhir (mereka menganggap aku terkesan menenangkan diri) dan mukaku terlihat sedih karena mereka diam-diam mengamati gerak-gerikku setelah aku ditanyai secara random bagaimana perasaanku pasca putus (which, pertanyaan semacam itu untuk beberapa orang yang habis putus emang sangat sensitif dan untuk yang susah move on pasti akan diselingi isak tangis sebelum akhirnya mulai menjawab, tapi sungguh buatku itu bukan masalah karena mereka orang-orang terdekatku). Padahal aku jawabnya biasa aja dan apa adanya, senyum-senyum, sedikit ngakak, dan plus dengan becanda. Kenyataannya adalah aku emang lagi ngantuk berat karena seharian pergi bareng mereka dan harus nungguin pesanan cinnamonrolls ku yang butuh waktu 10 menit buat diangetin di dalem microwave buat dibawa pulang, thats why aku baliknya terakhir. Lol.

Hari itu aku bahkan sebenarnya lebih sedih ketika tau siapa dosen pembimbing dua skripsiku. Tapi memang melelahkan dan menyebalkan sekali tiap mendengar kalimat semacam "Jangan sedih ya, mungkin emang ngga berjodoh." Atau "Sabar ya..." Atau ke annoyingan orang-orang random yang kepo sibuk cari tau apa permasalahan yang bahkan aku males ngebahasnya. Am I that miserably sad? Huh.

Eventually, terima kasih kepada logika yang menjadi dominan daripada perasaan. Terima kasih kepada hati yang sudah mau membuka pintu untuk cinta yang baru. Dan terima kasih kepada kenyataan karena akhirnya aku bisa menertawaimu dengan puas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar