Selasa, 16 Juli 2019

Kegiatan akhir pekan, datang ke pernikahan

Seperti yang sudah-sudah, datang ke pernikahan adalah perkara yang tidak mudah buatku. Akan ada usaha dan tenaga lebih untuk menghadirinya.Membutuhkan ekstra waktu tambahan untuk berdandan dan jauh hari sebelumnya sudah pasti akan dilanda dilema ingin memakai baju apa. Untukku yang tidak gemar berbelanja pakaian, ini adalah tantangan. Pinjam baju ibuku bukan solusi, karena sudah pasti tidak muat. Berbekal beberapa setel rok batik dan atasan formal menjadi modal untuk bergonta-ganti pakaian. Apalagi hampir setiap akhir pekan akan bertemu teman-teman yang sama, aku tidak mau keliatan biasa, namanya juga wanita. Belum lagi selera makan yang suka kadang-kadang hilang karena terlalu banyak manusia antri zuppa. Ditambah lagi basa-basi dengan orang yang sama, membuat canggung karena kehabisan cerita.

Namun perkara hari pernikahan lainnya, bukan hanya tentang keriwehanku saja. Tapi juga tentang kedua mempelai yang berbahagia. Aku tidak tau kan untuk mempersiapkan hari itu apa saja yang sudah mereka lewati. Lahir dan batin. Tentang memilih katering, tentang memilih pengisi acara, tentang kain seragam keluarga, tentang foto prewedding, tentang adat yang mau dipakai, dan lainnya. Untuk mengundangku saja mereka harus memilah memilih dan menyingkirkan beberapa list nama tamu untuk menekan jumlah undangan. Terpilih menjadi tamu undangan di hari pernikahan adalah rewards. Rewards karena kamu sudah berhasil menjadi bagian dari kehidupan sosial dan diharapkan kehadirannya.

Harusnya aku bahagia, tapi aku memang bahagia. Karena jujur saja aku suka melihat dekorasi pernikahan. Sampai-sampai kadang aku ingin menikah hanya karena melihat dekorasi pernikahan.

Untuk teman-teman dan kakakku, selamat menjalani kehidupan baru.





Selasa, 11 Juni 2019

Anxiety

Beberapa bulan terakhir aku sibuk mengurutkan tanggal di kalender, membuat list tidak terlihat melalui ingatan, menaruh nama-nama siapa saja di dalam boxnya. Memastikan pada tanggal itu aku tidak memiliki kegiatan lain, selain bertemu dengan nama-nama orang yang sudah aku urutkan di hari bahagianya. Mengirim surel kepada atasan terkait permintaan hari libur. Sungguh bertemu teman tak semudah dulu.

Teman dekat mulai menentukan tanggal baik untuk acara tukar-tukaran cincin dengan pacar, beberapa kebingungan perihal persyaratan pas foto KUA yang diminta cukup banyak, sebagian lain sudah siap menghadapi mual-mual selama 9 bulan dan lonjakan berat badan, serta sebagian besar lainnya sedang sibuk-sibuknya menitih karir demi cuan dan strata sosial. Sementara aku, baiklah, tidak usah membandingkan. Cukup menonton saja.

Ketika ada waktu dengan Ibu aku bercerita tentang sebuah tweet guyon yang aku baca beberapa minggu lalu namun aku memikirkannya dengan serius. Tweetnya kurang lebih berisi "Tangisan balita di ruang publik adalah birth control paling ampuh"."Bu, kalo denger bayi nangis rasanya jadi ngga pengen punya anak ya", and surprisingly my mom said "Ho'o betul banget!"

Bahkan aku pernah ngga sengaja baca, lupa di sosial media apa, ada influencer young mum yang bilang kalo dia sangat menikmati waktunya ketika tidak bersama dengan anaknya yang masih balita. Apakah semelelahkan itu?

Fun fact, aku tidak terlalu suka anak kecil apalagi yang cengeng dan nakal serta akan kelelahan ketika menggendong bayi terlalu lama.

Aku memikirkan banyak hal ketika orang memutuskan untuk menikah. Menikah membuat orang-orang menghadirkan sebuah makhluk lain yang mana akan menjadi tanggung jawab mereka seumur hidup. Bahkan saat tidak lagi hidup di bumi, tanggung jawab tersebut akan di bawa ke alam lain. Sungguh berat. Serta merepotkan. Tapi bukan berarti aku tidak mau punya anak, untuk saat ini, membayangkan mempunyai saja aku kadang setres. Padahal hanya sebatas membayangkan.

Setelah lebih dewasa aku menjadi mengerti mengapa ada orang yang memutuskan untuk tidak memiliki anak. Selain karena kekhawatiran akan kekejaman dunia, ada juga ketakutan terhadap anak itu sendiri.