Minggu, 18 Desember 2022

Wedding day!

Tahun 2022 ini adalah tahun keenam kami berkencan. Dulu kami memutuskan untuk berkencan karena tidak mungkin perasaan saling suka diam-diam yang sudah menahun ini dibiarkan saja. Menjalani kehidupan percintaan bersama S tidak terlalu sulit, kami seperti sudah saling mengenal sejak lama dan memahami satu sama lain. Kami berdua memiliki maklum yang cukup besar, untuk sifat, kebiasaan, selera, waktu, dan banyak hal lain. Yang susah hanya ketika kami harus tinggal berjauhan karena pekerjaan, hampir dua tahun LDR Jogja-Jakarta. Tentu jadi tidak bisa pergi nonton film baru, makan di tempat makan kesukaan kami sering-sering, dan jalan-jalan sore random. Perjumpaan selama dua hari tiap tiga bulan sekali menjadi kebiasaan baru kami saat itu agar tetap waras menjalani hubungan ini. Kala itu S adalah wartawan baru di kantor berita keren sebagai penulis, sedang menjalani masa probasi ditambah kegiatan sehari-harinya benar-benar membuatnya sangat sibuk. Tentu tidak boleh mengeluh adalah kunci hubungan ini tetap berjalan lancar, tangis S yang selalu pecah di Stasiun Lempuyangan tiap kereta tujuan Jakarta-nya datang menandai hari-harinya di Jogja sudah harus berakhir membuat cerita cinta kami terkenang hangat. Pelukan, sekaan air mata, lambaian tangan, dan kalimat "Kabarin ya, kalo udah sampe". Rindu tapi tentu tidak ingin mengulang masa itu lagi.


Awal tahun kemarin (Januari), S dan aku memutuskan untuk menjalankan hubungan manis ini menjadi lebih manis lagi. Kami hanya memiliki waktu enam bulan untuk mempersiapkan hari pernikahan kami yang mana kenyataannya waktu efektif yang kami jalani hanya tiga bulan. Tanpa bantuan wedding organizer tentu hari-hari persiapan pernikahan ini menjadi lebih melelahkan dan membingungkan. Patokanku, aku hanya ingin pernikahan yang sederhana, intim, hangat, berkesan namun tidak membuat kami ribet.

Pertama yang kami tentukan adalah tempat untuk melaksanakan pernikahan. Sesungguhnya kami tidak lagi mencari tempat lain karena satu-satu tempat yang kami (terutama aku) inginkan hanyalah Candi Tirtoraharjo. Tempatnya sangat nyaman, sejuk karena banyak sekali pepohonan dan kolam renang besar, artsy, njawani, dan indah. Rasa tiap makanan disana tidak pernah mengecewakan, test food pernikahan kami adalah salah satu rangkaian persiapan pernikahan yang paling kami suka. Ahahahahaha. Sudah jatuh cinta dengan tempat itu sejak datang kesana beberapa tahun lalu. 







Kedua, menentukan kostum apa yang cocok kami gunakan di hari pernikahan. Kami harus menggunakan dua kostum, untuk akad nikah pada sore hari dan acara resepsi pada malam hari. Kami masih berpegang teguh tidak ingin ribet namun berkesan, maka aku menentukan dan memilih pakaian/baju kurung khas melayu untuk akad nikah dan kebaya hijabi kontemporer yang tidak ribet untuk resepsi. S adalah warga Kalimantan yang mana dekat dengan budaya melayu sedangkan aku adalah warga Jogja yang kurang tulen karena ayahku berdarah Padang. Kebetulan dari dulu aku memiliki imej jika menikah maka perlu menggunakan kebaya, kain batik serta roncean bunga melati di kepala. Maka pakem-pakem tersebut jelas ada, sisanya dikreasikan. Karena biaya menyewa pakaian pernikahan perlu ditekan (karena sangat mahal ngga masuk akal) maka kami memutuskan untuk menjahit pakaiannya sendiri (dengan tenaga profesional di bidangnya). Sangat menyenangkan sekali menentukan kainnya, warnanya, dan modelnya. Sangat suka dengan hasilnya, sangat aku (ukurannya).



Setelah tempat pernikahan, makanan, dan kostum selesai maka tugasku selanjutnya hanya hal-hal sepele seperti memilih jasa rias/MUA dengan anggaran dana paling pas, memastikan kain dan kostum untuk keluarga, serta menentukan souvenir pernikahan. Karena agak ambisius (saat itu) maka aku memutuskan untuk membuat souvenir pernikahan sendiri. Menjahit 300an pouch untuk souvenir pernikahan hanya dalam tiga bulan. Dibantu mesin jahit ibuku dan hari-hari work from home serta uluran tangan S dan Miha membuat semuanya berjalan lancar. Oh ada lagi, undangan fisik pernikahan kami juga bikin sendiri. Design undangannya lagi-lagi sederhana, hand draw customized (gambar Candi Tirtoraharjo) dan selembar aja karena cetak hard print mayan mahal. Bagian undangan juga ku lakukan dengan ambisius karena pilih pitanya sendiri, nempelin stiker sendiri (pesen di Shopee), dan plastikin sendiri.

Untuk sisa keperluan pernikahan lain tentu dilakukan oleh ayah dan ibuku berserta sobatnya, termasuk memilih pranatacara, vendor sound dan lighting, dekorasi, dokumentasi, pengisi acara, termasuk foto preweddingku. Foto prewedding kami dilakukan H-1 bulan, tadinya kami ngga mau ada foto prewedding karena memang ngga mau (ribet cari MUA, fotografer, venue, bla bla bla). Tapi dirasa perlu untuk kebutuhan dekorasi (yha oke!), jadi foto buru-buru, cari MUA buru-buru, di studio foto aja yang pasti bagus (pun fotografernya).



Minggu, 22 Agustus 2021

Halo!

2021 goes so fast. Cant believe its mid year already. Perasaan kayak baru masuk 2021, kalo lihat bungkus makanan terus tanggal kadaluarsanya 2022 tuh masih berasa lama, padahal kita kan udah ada di tahun 2021 ya. Nyebelin banget sih emang corona ini, membuat hari-hari berasa kurang menarik. Bangun tidur apalah apalah tau-tau udah maghrib. Apalah apalah-nya ini tentu ya ngga ngelamun gabut sih ya kita juga kan kerja cari nafkah buat bayar jerat shopeepay, cuma ya kalo badan sih ya diem aja sama makan agak kencengan dikit. Ngga sadar tau-tau berat udah 72 kg, langsung pengen daftar jadi peserta cabor angkat besi.

Diem-diem liatin video renovasi kamar di TikTok sampe review barang-barang aneh di Shopee, kepoin rumah tangga selebgram, melihat perdebatan dan membaca isi kepala manusia-manusia di Twitter. Kadang ya kalo bosen banget bisa disempatin liat Youtube Atta Halilintar yang sempat memberikan contoh budaya patriarki dalam kehidupan masyarakat. Kapan hari kaum feminis kasih bahan diskusi tentang childfree yang dikomporin Gita Savitri.

Budaya patriarki adalah budaya yang dipilih (secara tidak langsung) dan diterapkan dalam keluargaku. Dalam kegabutan ini ku hanya ingin  menulis yang mudah-mudah saja. Bapakku tentu adalah pentolan dalam keluarga, bisa dibilang di rumah kami semua hampir semua keputusan besar harus dengan persetujuan bapakku. Kalo bapakku jadi presiden mungkin sistem negaranya adalah demokrasi otoriter. Warga boleh kasih usul, kasih pendapat, masukan, uneg-uneg, kegelisahan, tapi ya keputusannya ada di tangan bapakku (yang kadang suka diambil tiba-tiba).

Contoh, kami sekeluarga pergi jalan-jalan naik mobil karena PPKM jadi ya bakal cuma di mobil saja. Lalu bapakku nanya, kita akan jalan ke arah mana. Aku pasti bilang terserah karena bapakku yang nyetir, suka-suka dia lah yang penting jalan-jalan. Namun beliau tidak setuju jika diberi respons terserah, kami harus kasih usul. Ya ku jawab ke arah Jakal, terus beliau bilang kalau Jakal pasti rame dan macet. Ya sudah ke arah Bantul, beliau juga menjawab kalau Bantul kejauhan. Ku tidak mau menjawab Godean karena jalannya kurang jalan-jalan friendly. Ku jawab lagi terserah (tapi kali ini ya tentu dengan agak kezal) yang jalannya paling enak dan mudah untuk dilalui. Akhirnya kita ke Jakal tanpa diskusi lagi.

Walaupun di antara bapak dan ibuku, ibuku yang paling galak tapi if daddy says no, then no. Bapakku kadang memang menyebalkan tapi herannya sampai dewasa aku tidak pernah mengeluhkan sistem dan pola kerja demokrasi otoriter ini karena aku dan adikku masih diperbolehkan untuk menyampaikan pendapat. Setidaknya kita punya hak berbicara dan memilih.

Waktu ramai perkara ketidakadilan dalam sistem patriarki di rumah tangga, tempat kerja, dan lingkungan sosial aku merasa sedikit kurang related karena selama ini aku nyaman hidup dalam sistem budaya ini. Dimana laki-laki adalah pemimpin, dalam agama yang ku anut pun. Selama hidup di dalam keluargaku, kami tidak pernah memperkarakan otoritas bapakku sebagai kepala keluarga (karena semua keputusan bapakku pasti adalah yang terbaik untuk bersama dan hal tersebut merupakan sesuatu yang perlu dipertanggungjawabkan). Ya karena bukan patriarki yang saklek sih, soalnya bapakku juga kadang ada takutnya sama ibu yang kalo diajak berdebat bisa dijabanin sampe lawan bicaranya capek bales.

Namun semakin kesini, aku baru tau dan memahami ternyata banyak juga orang-orang yang ngerasain ngga enaknya budaya patriarki yang berlangsung dalam sistem kerja dan sosial. Ngga cuma di pihak perempuan saja, laki-laki pun. Mereka jadi pihak yang selalu diandalkan, urusan angkat galon "cowok kan makannya banyak pasti kuat." Ngga juga, aku pun kuat karena aku makannya banyak. Kapan hari aku bahkan angkat galon plus kerdus air 1.5 literan (walau berakhir ke tukang urut yang mengira aku keseleo karena kebanyakan senam) setidaknya ya urusan angkat-angkat bisa siapa aja asal kuat. Bayar-bayarin pas pergi kencan adalah kewajiban laki-laki. Yeeee kesian amat lelaki sudah wajib menafkahi lebih dini. Untuk beberapa hal aku cukup setuju dengan sistem kesetaraan gender dalam masyarakat. Perempuan juga bisa kok diandalkan. Bisa juga kok bayarin jajan jolly time buat bekel nonton pas kencan. Jadi manusia biasa aja who does common things regardless of gender.

Intinya aku bersyukur bisa hidup dalam keluarga patriarki ber-privilege. Hehehehe. 




Kamis, 04 Juni 2020

To keep your self sane


Mencari cara untuk tetap waras lahir dan batin di tengah kegilaan ini bukan perkara yang mudah. Mencari penghiburan yang tepat pas cocok dari segi finansial dan batasan keadaan saat ini membutuhkan eksplorasi lebih. Menelusuri instastory circle menjadi salah satu surveiku dalam menentukan aktivitas apa yang harus kulakukan. Sejauh ini menyulam dan menanam, serta ambil satu hari cuti untuk berhenti sejenak mengurusi urusan orang lain.


Ide belajar menyulam ini sesungguhnya sangat tidak aku karena membutuhkan konsentrasi yang berlebih sementara aku mudah bosan. Terlihat dari pola bunga yang lebih mirip kembang api malam takbiran. Tidak konsisten dan terkesan asal-asalan. Tapi percayalah ini semua berdasarkan belajar singkatku dari Youtube dan Pinterest. Sementara ini masih terus mencoba jika ada waktu senggang dan suasana hati yang oke. Masih belum mau belajar pola lain karena pola ini saja masih kurang baik.



Menanam ini berdasarkan menonton instastory Ayudiac yang mulai menanam tanaman di loteng rumahnya. Kehidupannya yang sempurna semakin kelihatan estetis dengan menanam. Entah mengapa menanam itu keren. Kata Adul menanam itu artinya melawan. Teringat RaraBen Home Garden yang membuat membuat jiwa-jiwa indieku bergejolak. Apakah ini saatnya aku melakukan aksi ketahanpanganan dalam kehidupanku sendiri. Seru juga bisa hidup dengan konsumsi hasil panen kebun sendiri. Tapi sayang aku tidak terlalu suka sayur hehe. Peternak sapi metal mungkin.

Tokopedia adalah jalan ninjaku untuk mewujudkan kepengenan yang sangat random ini. Berbekal gratis ongkir membeli benih timun, cabe, brokoli, buncis, kangkung, terong, bawang, dan bunga iceplant. Baru 5 hari, yang sudah mulai muncul baru daun timun seumprit tapi lumayan bikin takjub dengan kemampuanku dalam menanam. Katanya tanaman harus diajak ngobrol setiap hari agar tumbuh kembangnya tetap baik dan jiwa pepohonannya bahagia. Doakan semoga istiqomah dan tidak dianggap gila oleh tetangga karena ngajak ngobrol pot-pot polybag.

Senin, 04 Mei 2020

Kemana aja lah asal sama kamu, ah sedap...


"Ada ngga negara yang pengen kamu datengin?"
"Engga ada kayaknya."
"Masa ngga ada sih?"
"Iya ngga ada."
"Kok bisa ngga ada?"
"Bisa aja."
"Kenapa ngga ada?"
"Iya soalnya aku gabisa bahasa inggris."
"Mimpi aja ada ngga?"
"Ada kalo mimpi."
"Kemana?"
"Jepang."

Terus ke Merapi, latihan takjub liat Gunung Fuji kalo-kalo beneran sampe Jepang.
Yang terlalu realistis itu S ya. Aku yang bagian nanya-nanya.
Sedih juga jadi anak yang kurang berprestasi dan tidak suka nabung. Jadi pengalaman dan kesempatan sering banget kelewat. Kadang pengen ikut give away trip keluar negeri tapi karena faktor keberuntunganku sangat tipis jadi sering diurungkan. Kalo nabung aku ngga bisa duit seratus ribuan, suka kepikiran pas akhir bulan, pengen dijebol. Jadi nabung seribuan koin emang paling aman. Tapi kalo buat sampe Jepang andelin tabungan seribuan koin mungkin aku nabungnya harus sampe sepenuh tabung LPG 12 kg.

Jumat, 01 Mei 2020

Social distancing / self distancing / self isolation / quarantine / whatever you call it


Work from home adalah bekerja dari rumah yang mana bangun tidur dengan setting alarm semenit sebelum brifing kerjaan mulai. Awalnya aku sangat menjunjung tinggi asas semangat kerja datangnya setelah mandi pagi namun lama kelamaan semangat kerja datangnya adalah dari kualitas tidur yang baik dan  kuantitas istirahat yang cukup. Aku adalah salah satu karyawan di kantor yang beruntung karena tidak terlalu menderita karena pandemi korona dan wabah boyoken ini. Aku tidak harus galau jauh dari keluarga karena tidak kos, dan aku tidak harus menderita karena aku punya meja dan kursi kerja yang proper. Karena setiap briefing dan dimintain feed back dari kegiatan WFH ini semua mengeluhkan "Kangen kantor, kangen kursi kantor" semua orang sakit punggung karena kerja sambil tengkurep dan lesehan selama 9 jam kerja tanpa bisa jalan-jalan ke pantry kantor buat jajan risol sebagai aktivitas peregangan otot. Apa tidak mengalami kejompoan di usia dini jika seperti ini.

Beberapa orang merasa bosan kerja di rumah sampai setres, beberapa berusaha tetap produktif biar tidak mati gaya, beberapa lainnya biasa-biasa aja cenderung nyaman termasuk aku. Sebagai salah satu anak di kantor yang tidak punya banyak teman dan jarang bersosialisasi, moment ini rasanya seperti hadiah karena aku sudah jadi anak yang tidak suka ikut ghibah di kantor. Setelah dikaji ulang, aku itu bukan anak yang introvert melainkan anak yang dominan dan ngambekan. Jadi aku butuh atensi lebih, sementara tidak semua bisa memahami itu. Apa itu basa-basi dan saling memuji prestasi. Apa itu haha hihi update kemesraan bersama rekan kerja. Hahahahahaha ini nyinyir. Tapi ya sudah daripada aku ngambek dengan semua anak kantor karena masalah sepele aku memutuskan untuk underground dan membuat imej dingin di masyarakat.

Bekerja di rumah adalah saatnya aku mengeluh tanpa harus didengar anak-anak lain karena menjaga wibawaku selama ini. Saatnya aku bisa menghabiskan waktu produktifku dengan main sama Oui dan Oti. Saatnya aku ngemil tanpa was-was bakal dilirik tajam penuh isyarat untuk menyimpan Potabee-ku di laci meja oleh supervisor. Saatnya duduk sambil angkat kaki ala konsumen angkringan karena pegel jiwa dan raga. Saatnya kerja tanpa masker sensi yang dipake dari berangkat sampe pulang kerja sampe dikira ODP sama anak-anak kantor.

Bagaimanapun korona dan segala kejadian yang mengikutinya cukup membuat semua lapisan masyarakat di bumi ini bereaksi. Mulai dari yang menunjukkan sikap kepedulian hingga ketidakpeduliannya. Dari yang merespons ini dengan biasa sampe yang luar biasa. Dari yang sebelumnya cuek hingga saling menyemangati untuk stay sane. 

Setiap hari rasanya berubah-ubah. Berita-berita dari tv dan Twitter cukup bikin kita kebingungan karena ini mau marah, mau takut, mau sedih, mau waspada, mau santai, mau mengumpat, atau mau yaudahlah. Liat postingan orang tua yang mulai pening menghadapi tugas-tugas sekolah dari rumah anak-anaknya. Liat postingan jualan teman-teman yang bikin pengen dibeli. Liat postingan berita satwa di kebun binatang terancam kelaparan sementara Oui makan tinggal ngeong. Liat berita orang-orang yang tetap memaksakan diri pergi ke masjid karena tidak peduli korona yang penting beribadah kepada Allah karena takut azab Allah daripada korona terus besoknya positif korona bikin serumah jadi ODP. Aku adalah salah satu manusia yang bersyukur karena bisa beribadah di rumah dengan maksimal dan karena selama hidup baru ini ayahku jadi imam tarawih di rumah.

Hampir semua orang yang aku kenal dan aku tanyai perasaannya tentang pandemi ini, jawabannya adalah takut. Garda terakhir yang seharusnya paling berani, tetap saja jawabannya takut tapi tidak ada pilihan lain karena tanggung jawab profesi. Tidak pernah sesetres ini sampai tidak bisa tidur berhari-hari karena cemas. Test ujian masuk Bank Indonesia waktu itu yang aku anggap paling bikin setres saja kalah. Tiba-tiba batuk, tiba-tiba pusing, tibaa-tiba nangis sendiri, tiba-tiba mual, tiba-tiba sesak, tiba-tiba merasakan corona symptom, tiba-tiba minta ampun ke ibuku karena selama ini jadi anak yang kurang baik untuk keluarga. Saking setresnya aku berencana resign karena kebijakan WFH kantor yang lambat walau ga selambat itu. Apa tidak makin setres ya kalo kemaren beneran resign. Apa kabar tagihan Shopee Pay Later ku. Apa kabar uang jajan Oui sama Oti.

Ditambah kondisi ini bertepatan dengan bulan Ramadhan, dimana semua orang pengen berkumpul dan dekat dengan keluarganya. Akal dan nalar sulit ditahan karena faktor emosional. Sesimpel pengen buka dan sahur bareng, pengen shalat Fardu dan Tarawih berjamaah walaupun cuma bisa di rumah. Aku sebagai anak yang punya privilege untuk selalu dekat dengan keluarga kadang cant relate. Cuma bisa komentar kenapa orang-orang seegois itu untuk pulang kampung aka mudik tanpa mikir dampak kepulangannya. Tapi setelah S ngga bisa balik ke negaranya karena semua penerbangan dinonaktifkan, setiap ngobrol sama dia tentang pulang rasanya ikut berat. Kangen ibu. Terus tenggorokan rasanya tercekat dan ikut merasakan keentahan perasaan ini. Walaupun kalo dia cerita ya biasa aja sih ngga sedrama itu ditambah "Aku bisa aja pulang naik Hercules. Kalo aku mau tapi." tapi ada rasa pedih-pedih bawang mengembang di mata. 

Tidak pernah kepikiran hal seperti ini bakal kejadian dalam hidupku, akhirnya punya juga cerita masa muda yang berpuluh tahun kedepan bisa diceritain ke anak cucu walau ceritanya waktu ada pandemi korona ibu ikut menyelamatkan dunia dengan tidur-tiduran dan memastikan stok jajan di kulkas tercukupi. Jujur yang aku cemaskan dalam hidupku selama ini adalah jika wabah zombie terjadi. Apa tidak semakin gila karena kalo mau mencari makanan harus bertarung dengan kelompok lain dan memenggal kepada zombie sebagai perlawanan.

Jika pandemi ini sudah selesai, aku tidak memiliki keinginan apa-apa selain hidup seperti biasanya. Hidup secara normal tanpa takut dan penuh waspada tiap belanja bulanan karena bertemu banyak manusia lain. Hidup secara normal tanpa rempong sedikit-sedikit harus lap-lap tangan pake tissue basah atau pakai hand sanitizer sampe tangan kering mengelupas. Hidup secara normal tanpa penuh curiga ketika ingin cipika cipiki dan salaman dengan orang lain. Hidup secara normal tanpa menyemprot disinfektan ke plastik jajanan yang habis dianter pak Grab Food. Hidup secara normal tanpa keengapan karena harus pakai masker all the time.